PESAN AYAH
‘Kapan dan di manapun kamu berada, tidak semua orang menerima kehadiranmu, tetapi juga tidak semua orang menolak kehadiranmu.’ Kata ayah sambil memperbaiki posisi duduknya.
Matanya agak menerawang dengan suara berat membahana. Sehari-hari ia lebih banyak diam. Ia tahu kapan waktu yang tepat untuk mengatakan sesuatu tentang hidup dan masa depan.
“Setiap orang punya cara pandang dan kepribadian yang berbeda-beda. Ada yang bisa menerima, ada yang sulit menerima. Ada yang mudah paham, ada yang sulit paham. Ada pro-ada kontra. Ada cinta-ada benci. Selalu ada dua sisi kehidupan. Itulah fakta yang tidak bisa dibantahkan, anakku.”
Naluri sebagai anak mengunci rapat mulutku dan membuka lebar-lebar telinga untuk menyimak kata-kata ayah yang terdengar abstrak tetapi sungguh menyentuh dan menyejukkan.
“Kalau ada yang memuji dan mendukungmu, janganlah terbuai, karena masih ada yang menghina dan menolakmu. Jika ada yang membanggakan dan mencintaimu, janganlah sombong, karena masih ada yang mencemooh dan membencimu. Pahamilah kedua sisi kehidupan itu, maka kamu akan lebih bijak, anakku.”
Aku tertegun. Pengalaman telah mengajarinya untuk menjadi sosok tangguh. Di sorot matanya, terpancar kebijaksanaan yang kuyakini tak ia peroleh dari bangku pendidikan.
“Berharap bahwa semua orang menerima kehadiranmu hanya akan melahirkan kekecewaan. Berpikir bahwa semua orang menolak kehadiranmu hanya akan membuatmu minder dan tertutup. Tidak perlu mendewakan orang yang menerimamu dan memusuhi orang yang menolakmu. Tidak perlu terpukau pada orang yang mencintaimu dan terpaku pada orang yang membencimu. Hidup ini punya perangkap sendiri. Saat kamu terlena, kamu masuk dalam jebakan.”
Kekaguman pada ayah justru membuatku heran. Yang kutahu, ayahku tidak berpendidikan. Memang, pengalaman adalah guru yang terbaik.
“Belajarlah pada kehidupan itu sendiri, karena hidup telah menyediakan banyak pelajaran. Belajarlah untuk menerima diri, tahu kelebihan dan kekurangan, tahu cara membawakan diri dan menempatkan diri. Belajarlah juga untuk memahami dan memperlakukan orang lain. Melalui orang lain, kamu bisa melihat siapa diri kamu yang tidak kamu sadari sendiri. Dengan itu, kapan dan di manapun, kamu akan bahagia.”
Kubangun dan kupeluk ayahku. Terima kasih ayah.
‘Kapan dan di manapun kamu berada, tidak semua orang menerima kehadiranmu, tetapi juga tidak semua orang menolak kehadiranmu.’ Kata ayah sambil memperbaiki posisi duduknya.
Matanya agak menerawang dengan suara berat membahana. Sehari-hari ia lebih banyak diam. Ia tahu kapan waktu yang tepat untuk mengatakan sesuatu tentang hidup dan masa depan.
“Setiap orang punya cara pandang dan kepribadian yang berbeda-beda. Ada yang bisa menerima, ada yang sulit menerima. Ada yang mudah paham, ada yang sulit paham. Ada pro-ada kontra. Ada cinta-ada benci. Selalu ada dua sisi kehidupan. Itulah fakta yang tidak bisa dibantahkan, anakku.”
Naluri sebagai anak mengunci rapat mulutku dan membuka lebar-lebar telinga untuk menyimak kata-kata ayah yang terdengar abstrak tetapi sungguh menyentuh dan menyejukkan.
“Kalau ada yang memuji dan mendukungmu, janganlah terbuai, karena masih ada yang menghina dan menolakmu. Jika ada yang membanggakan dan mencintaimu, janganlah sombong, karena masih ada yang mencemooh dan membencimu. Pahamilah kedua sisi kehidupan itu, maka kamu akan lebih bijak, anakku.”
Aku tertegun. Pengalaman telah mengajarinya untuk menjadi sosok tangguh. Di sorot matanya, terpancar kebijaksanaan yang kuyakini tak ia peroleh dari bangku pendidikan.
“Berharap bahwa semua orang menerima kehadiranmu hanya akan melahirkan kekecewaan. Berpikir bahwa semua orang menolak kehadiranmu hanya akan membuatmu minder dan tertutup. Tidak perlu mendewakan orang yang menerimamu dan memusuhi orang yang menolakmu. Tidak perlu terpukau pada orang yang mencintaimu dan terpaku pada orang yang membencimu. Hidup ini punya perangkap sendiri. Saat kamu terlena, kamu masuk dalam jebakan.”
Kekaguman pada ayah justru membuatku heran. Yang kutahu, ayahku tidak berpendidikan. Memang, pengalaman adalah guru yang terbaik.
“Belajarlah pada kehidupan itu sendiri, karena hidup telah menyediakan banyak pelajaran. Belajarlah untuk menerima diri, tahu kelebihan dan kekurangan, tahu cara membawakan diri dan menempatkan diri. Belajarlah juga untuk memahami dan memperlakukan orang lain. Melalui orang lain, kamu bisa melihat siapa diri kamu yang tidak kamu sadari sendiri. Dengan itu, kapan dan di manapun, kamu akan bahagia.”
Kubangun dan kupeluk ayahku. Terima kasih ayah.
Komentar
Posting Komentar